Tuesday, February 15, 2011

Perempuan dalam Kisah al-Qur’an

Diturunkannnya al-Qur’an kepada umat manusia adalah merupakan bentuk kasih sayang Allah, bertujuan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Bukan untuk membebani manusia, atau menyulitkan manusia. Para ulama sepakat bahwa secara garis besar, al-Qur’an terdiri dari 3 bagian besar, yang pertama ia berisikan tentang risalah tauhid, yang kedua tentang kisah-kisah, dan yang terakhir adalah hukum yang mengatur kehidupan manusia. Tentunya kisah yang ada dalam al-Qur’an bukanlah sekedar kisah untuk dongengan belaka, tetapi dari setiap kejadian yang diabadikan dalam al-Qur’an, mengandung hikmah, pelajaran, tuntutan, petunjuk bagi manusia.

Oleh karena itu hanya beberapa manusia tertentu saja yang diabadikan Allah dalam al-Qur’an. Mereka adalah para Nabi dan Rasul, orang-orang soleh, dan juga manusia-manusia yang mendurhakai Allah, agar manusia mengetahui apa akibatnya jika mereka mendurhakai Allah. Termasuk di dalamnya adalah kisah para wanita yang disebutkan dalam al-Qur’an baik ia disebutkan secara langsung maupun tidak langsung. Al-Qur’an secara khusus membicarakan jenis-jenis perempuan berdasarkan amalnya. Kadang-kadang al-Qur’an menunjuk nama jelas jika perempuan yang dilukiskannya adalah perempuan ideal. Untuk melukiskan perempuan yang buruk, al-Qur’an tidak pernah menyebut nama secara langsung.

Pesan Moral dari Kisah Asiyah (Istri Fir’aun)

Dalam QS. 66:11, disebutkan bahwa Asiyah istri Fir`aun adalah perumpumaan bagi orang-orang yang beriman. Akibat dari keimanan Asiyah kepada kerasulan Musa, ia harus rela menerima siksaan pedih dari suaminya. Suatu ketika Nabi Musa as. berhasil mengalahkan para tukang sihir Fir’aun. Asiyah, yang turut menyaksikan kesuksesan Musa, bertambah tebal imannya. Sebenarnya, telah lama Asiyah beriman kepada Allah SWT, tetapi hal ini tidak diketahui suaminya. Lama-lama Fir’aun mengetahui juga akan keimanan Asiyah. Fir’aun marah dan menjatuhkan hukuman pada dirinya. Para algojo diperintahkan untuk segera melakukan penyiksaan kepada Asiyah, yang olehnya dianggap murtad itu. Tubuh Asiyah ditelantangkan di atas tanah di bawah terik sinar matahari. Kedua tangannya diikat kuat ke tiang-tiang yang dipatok ke tanah agar ia tak dapat bergerak-gerak. Wajahnya dihadapkan langsung kea rah datangnya sinar matahari. Pastilah Asiyah tidak akan tahan akan sengatan panas matahari, dan akhirnya ia akan mengubah keimanannya kepadaku, pikir Fir’aun. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata Tuhan tidak membiarkan hambanya menderita akibat kekafiran Fir’aun. Setiap kali para algojo meninggalkan Asiyah dalam hukumannya, para malaikat segera menutup sinar matahari itu, sehingga langit menjadi teduh dan Asiyah tidak merasakan sengatan matahari yang panas itu. Asiyah tetap segar bugar meskipun sudah dihukum berat.

Dari apa yang dikisahkan dalam Al-Qur’an dapat kita sebut bahwa Asiyah adalah tipe perempuan pejuang. Ia hidup di bawah suami yang melambangkan kedzaliman. Ia memberontak kepadanya, melawannya dan mempertahankan keyakinannya apapun resiko yang diterimanya. Semuanya ia lakukan karena ia memilih rumah di surga, yang diperoleh dengan perjuangan menegakkan kebenaran, ketimbang istana di dunia, yang dapat dinikmatinya bila ia bekerjasama dengan kedzaliman. Al-Qur’an tidak menyebut namanya. Hadits menyebutnya Asiyah binti Mazahim “Dan Allah menjadikan teladan bagi orang-orang yang beriman perempuan Fir’aun, ketika ia berdoa’a: Ya Rabbi, bangunkan bagiku rumah di surge. Selamatkan aku dari kaum yang dzalim.

Seorang istri yang salihah, ia akan bersabar dengan kekurangan yang ada pada suaminya dan sabar dengan kesulitan hidup bersama suaminya. Tidaklah ia mudah berkeluh kesah di hadapan suaminya atau mengeluhkan suaminya kepada orang lain, apalagi menceritakan aib, cacat dan kekurangan sang suami. Bagaimanapun kekurangan suaminya dan kesempitan hidup bersamanya, ia tetap bersyukur di sela-sela kekurangan dan kesempitan tersebut, karena Allah memilihkan lelaki muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir sebagai pendamping hidupnya. Dan tidak memberinya suami seperti suami Asiyah bintu Muzahim yang sangat kafir kepada Allah dan berbuat aniaya terhadap istri karena ia beriman kepada Allah dan RasulNya. Seperti telah dikisahkan dalam bab sebelumnya, bahwa ketika Fir’aun, suami Asiyah, mengetahui keimanan istrinya, ia keluar menemui kaumnya lalu bertanya: “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah bintu Muzahim? Mereka memujinya. Sedangkan Fir’aun berkata: “Ia menyembah Tuhan selain aku.” Mereka berkata: kalau begitu bunuhlah dia. Maka fir’aun membuat pasak-pasak untuk istrinya, kemudian mengikat kedua tangan dan kedua kaki istrinya, kemudian menyiksanya di bawah terik matahari. Jika Fir’aun berlalu darinya, para Malaikat menanungi Asiyah dengan sayap-sayap mereka. Asiyah berdo’a: “Wahai Rabbku, bangunkanlah untukku disisiMu sebuah rumah di dalam surge.” Allah mengabulkan doa Asiyah dengan membangunkan sebuah rumah di surge untuknya. Dan rumah itu diperlihatkan kepada Asiyah, maka ia pun tertawa. Bertepatan dengan itu Fir’aun datang, melihat Asiyah tertawa, dia heran. Tidaklah kalian heran dengan kegilaan Asiyah? Kita siksa dia malah tertawa.

Menghadapi beratnya siksaan Fir’aun hati Asiyah tidak lari untuk berharap belas kasih dan pertolongan dari Penguasa Makhluk. Ia berdo’a agar diselamatkan dari siksaan yang ditimpsksn Fir’aun dan kaumnya serta tidak lupa memohon agar diselamatkan dari melakukan kekufuran sebagimana yang diperbuat Fir’aun dan kaumnya.

Pesan Moral dari Kisah Maryam

Maryam disebut dengan jelas beberapa kali. Nama Maryam yang berarti wanita yang taat beribadah, disebut dalam al-Qur’an sebanyak 34 kali dan terbagi dalam 11 surat Bahkan sebuah surat menggunakan nama Maryam. Perlu dicatat bahwa tidak seorang wanita pun yang disebut namanya dalam al-Qur’an kecuali beliau. Ini untuk mengisyaratkan bahwa tidak ada wanita lain yang pernah atau akan mengalami seperti apa yang beliau alami (melahirkan anak yang menjadi Nabi tanpa disentuh pria).

Maryam adalah tipe perempuan yang saleh, ibu dari tokoh terkemuka di dunia dan akhirat. Ia menjaga kesucian dirinya, mengisi waktunya dengan pengabdian yang tulus kepada Rabb. Akhirnya, ia memikul amanah untuk mengasuh dan membesarkan kekasih Rabb, Isa putra Maryam. Dan Maryam putra Imran, yang menjaga kesucian kehormatannya. Kami tiupkan ruh kami dan ia membenarkan kalimah Tuhannya dan kitab-kitabNya dan ia termasuk orang yang taat (QS. 66: 16). Maryam adalah tipe perempuan shaleh. Kehormatannya terletak dalam kesucian bukan dalam kecantikan.

Istri yang salihah akan menjaga dirinya dari perbuatan keji dan segala hal yang mengarah ke sana, seperti yang terjadi pada Maryam putra Imran. Sehingga ia tidak keluar rumah kecuali karena darurat, dengan izin suaminya. Kalaupun keluar rumah, ia memperhatikan adab-adab syar’i. Dia menjaga diri dari bercampur baur apalagi khalwat dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Ia tidak berbicara dengan laki-laki ajnabi (non muhrim) kecuali karena terpaksa. Dan ia tidak melepas pandangannya dengan melihat apa yang diharamkan Allah. Ia ingat Bagaimana Allah memuji Maryam yang sangat menjaga kesucian diri, sehingga ketika dikabarkan oleh Jibril bahwa dia akan mengandung seorang anak yang kelak menjadi rasul pilihan Allah, Maryam berkata dengan heran: “Bagaimana aku bisa memiliki seorang anak laki-laki sedangkan aku tidak pernah disentuh oleh seorang manusia (laki-laki) pun dan aku bukan pula seorang wanita pezina.

Wanita salihah akan mengingat bagaimana keimanan Maryam kepada Allah dan bagaimana ketekunannya dalam beribadah, sehingga Allah memilihnya dan mengutamakannya di atas seluruh wanita. Hal ini dikisahkan ketika malaikat Jibril berkata: “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu, mensucikan dan melebihkanmu di atas segenap wanita di alam ini (yang hidup di masa itu)” (Ali Imran:42).

Al-Qur’an memasukkan kisah ini bukan Cuma memberikan penekanan terhadap peristiwa penyelamatan sang bayi saja, melainkan juga dipandang sebagai perhatian terhadap ibu-ibu yang terhormat.

Satu contoh mengenai pentingnya Maryam bagi seluruh orang-orang yang beriman, melalui suatu penilaian gramatika sederhana. Al-Qur’an mengklasifikasikan Maryam sebagai salah seorang qanitin, dengan menggunakan kata berbentuk jamak maskulin yang menunjukkan seseorang beriman di hadapan Allah. Tidak alasan untuk tidak menggunakan bentuk jamak feminine, selain untuk menekankan pentingnya Maryam sebagai salah satu contoh bagi seluruh orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Kebaikan Maryam tidak dibatasi oleh jenis kelamin.

Pada dua tokoh perempuan tersebut (Asiyah dan Maryam), ada perumpamaan yang indah bagi para istri yang mengharapkan dengan Allah SWT dan hari akhir. Keduanya dijadikan contoh untuk mendorong kaum mukminin dan mukminat agar berpegang teguh dengan ketaatan dan kokoh di atas agama. (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an: 9;132).

Rasulullah saw pernah bersabda: Cukup bagimu dari segenap wanita di alam ini empat wanita, yaitu Maryam putrid Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fatimah bintu Muhammad, dan Asiyah istri Fir’aun.

Ucapan Rasulullah tersebut mengandung makna bahwa cukup bagimu untuk sampai kepada martabat orang-orang yang sempurna dengan mencontoh keempat wanita ini, menyebut kebaikan-kebaikan mereka, kezuhudan mereka terhadap kehidupan dunia, dan tertujunya hati mereka kepada kehidupan akhirat.

Rasulullah saw juga bersabda memuji Asiah dan Maryam: “Orang yang sempurna dari kalangan laki-laki itu banyak, namun tidak ada yang sempurna dari kalangan wanita kecuali Asiyah istri Fir’aun dan Maryam putrid Imran. Sungguh keutamaan Asiyah bila disbanding wanita lainnya seperti kelebihan tsarid di atas seluruh makanan. Di antara keutamaan Asiyah adalah ia memilih dibunuh daripada mendapatkan (kenikmatan berupa) kerajaan, karena suaminya seorang raja. Dan ia memilih siksaan di dunia daripada mendapatkan kenikmatan yang tadinya ia reguk di istana sang suami yang dzalim. Ternyata firasatnya tentang Musa benar adanya ketika ia berkata kepada Fir’aun saat mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Musa as sebagai anak angkatnya, agar ia menjadi penyejuk mata bagiku. (Fathul Bari: 6;544)

Al-Imam Ibn al-Qayyim berpendapat bahwa di dalam surat at-Tahrim ayat 10-12) mengandung tiga permisalan, satu untuk orang-orang kafir dan dua permisalan lagi untuk kaum mukminin. Setelah beliau menyebutkan permisalan bagi orang kafir, selanjutnya beliau berkata: adapun permisalan bagi orang-orang beriman, salah satunya adalah istri Fir’aun. Sisi perumpamaannya adalah terletak pada hubungan seorang mukmin dengan orang kafir tidaklah bermadharat bagi si mukmin sedikitpun, dengan catatan apabila si mukmin memisahkan diri dari orang kafir tersebut dalam kekafiran dan amalannya. Karena maksiat yang diperbuat orang lain sama sekali tidak akan berbahaya bagi seorang mukmin yang taat di akhiratnya kelak, walaupun mungkin ketika di dunia ia mendapatkan kemadharatan dengan sebab hukuman yang diterima oleh penduduk bumi bila mereka menyia-nyiakan perintah Allah, lalu hukuman itu dating secara umum, sehingga orang yang baik pun ikut terkena.

Istri Fir’aun tidaklah mendapatkan madharat karena hubungannnya dengan Fir’aun, padahal Fir’aun itu adalah manusia paling kafir. Sebagaimana istri Nabi Nuh dan Nabi Luth tidak mendapatkan kemanfaatan karena hubungan keduanya dengan dua utusan Rabb semesta alam.

Permisalan kedua bagi kaum mukminin adalah Maryam, seorang wanita yang tidak memiliki suami baik dari kalangan mukmin ataupun dari orang kafir. Dengan demikian dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga macam wanita: Pertama, wanita kafir yang bersuamikan lelaki yang salih, kedua wanita salihah yang bersuamikan lelaki yang kafir, ketiga gadis perawan yang tidak punya suami dan tidak pernah berhubungan dengan seorang lelakipun. Jenis yang petama, ia tidak mendapatkan manfaat karena hubungannya dengan suami tersebut. Jenis kedua, ia tidak mendapatkan madharat karena hubungannya dengan suami yang kafir. Jenis ketiga, ketiadaan suami tidak bermadharat sedikitpun baginya.

Kemudian dalam permisalan-permisalan ini ada rahasia-rahasia indah yang sesuai dengan konteks surat tersebut. Karena surat tersebut diawali dengan menyebutkan istri-istri Nabi saw dan peringatan kepada meraka dari saling membantu menyusahkan beliau. Bila mereka (istri-istri Nabi) itu tidak mau taat kepada Allah dan RasulNya serta tidak menginginkan hari akhirat, niscaya tidak bermanfaat bagi mereka hubungannya dengan Rasulullah, sebagaimana istri Nabi Nuh dan Nabi Luth tidak mendapatkan manfaat dari hubungan keduanya dengan suami mereka. Karena itulah di dalam surat tersebut dibuat permisalan dengan hubungan nikah bukan hubungan kekerabatan.

Yahya bin Salam berkata: “Allah membuat permisalan yang pertama untuk memperingatkan Aisyah dan Hafsah. Kemudian permisalan kedua bagi keduanya untuk menganjurkan keduanya agar berpegang teguh dengan ketaatan. Ada pula pelajaran lain yang bisa diambil dari permisalan yang dibuat untu kaum mukminin dengan Maryam. Yaitu Maryam tidak mendapatkan madharat sedikitpun di sisi Allah dengan tuduhan keji yang dilemparkan orang-orang Yahudi dan musuh-musuh Allah terhadapnya. Begitu pula sebutan jelek untuk putranya, sedangkan Allah swt mensucikan keduanya dari tuduhan tersebut. Perlakuan jahat dan tuduhan keji itu ia dapatkan padahal ia adalah seorang as-siddiqah al-kubra (wanita yang sangat benar keimanannya sempurna ilmu dan amal-amalnya), wanita pilihan di atas segenap wanita di alam ini. Lelaki yang saleh (yakni Isa putra Maryam pun) tidak mendapatkan madharat atas tuduhan orang-orang kafir dan fasik terhadapnya. Jadi, sebagaimana istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth, ada peringatan bagi Aisyah dan Hafsah deangan apa yang diperbuat keduanya terhadap Nabi saw (At-Tafsir al-Qayyim: 396-498).

Sebagai lawan dari perempuan Fir’aun adalah perempuan Abu Lahab. Ia bekerja sama dengan suaminya untuk menentang kebenaran, menyebar fitnah, melakukan tindakan dzalim. Ia dilukiskan al-Qur’an sebagai pemikul kayu bakar; sebuah metafora untuk menggambarkan tipe perempuan yang pekerjaannya memberikan kayu bakar untuk menyalakan api penindasan (QS. 111:1-5). Inilah tipe pendamping tiran.

Pesan Moral dari Kisah Ibunda Musa

Dalam QS. Al-Qasas/28: 7, al-Qur’an berbicara sangat halus kepada ibu Musa. Dalam ayat tersebut Allah menjanjikan anak yang dihanyutkan akan kembali lagi. Kemudian ayat itu juga menyebutkan Allah akan menjadikan sang anak sebagai rasul. Perhatikan kelembutan al-Qur’an terhadap keinginan perempuan ini untuk menyusukan anaknya. Meskipun sang anak selamat sesuai dengan pernyataan Allah. Keinginan ibu Musa untuk menyusukan anaknya bukanlah bagian langsung dari ayat itu secara keseluruhan. Namun, pada kenyataannya, al-Qur’an mengungkapkan aspek tersebut dengan meletakkannya di bagian awal.

Pngembalian sang anak sehingga ia bisa disusukan di payudara ibunya, akan bissa memenuhi naluri keibuannya, dan rupanya mampu menghapuskan kecemasan mengenai nasib anaknya. Pengorbanan dan perjuangannya untuk memenuhi perintah Allah dilakukan dengan penuh kelembutan. Ia bukan Cuma sekedar seorang yang beriman, ia beriman dengan cinta dan perhatian, ketakutan dan kecemasan.

Dalam hal ini makna terpenting dari ayat tersebut, yang kerap kali terabaikan adalah al-Qur’an menyatakan bahwa ibu Musa menerima wahyu. Dengan maksud istilah ini berarti bahwa individu telah menerima wahyu (komunikasi Ilahiyyah) dari Allah. Hal ini tidak sama dengan risalah yang berarti seorang individu telah menerima wahyu dari Allah dan bertanggung jawab untuk meneruskannya ke umat manusia seluas-luasnya. Jadi, ini memperlihatkan bahwa perempuan memang berbeda dalam sejumlah aspek, namun di sisi lain perempuan juga universal terhadap masalah tertentu.

Pesan Moral dari kisah Balqis, Ratu Saba’.

Meskipun kenyataan menunjukkan Balqis adalah seorang ratu yang memerintah suatu bangsa, namun kebanyakan kaum muslimin menganggap kepemimpinan sangatlah tidak patut dipikul oleh kaum perempuan. Al-Qur’an tidak menggunakan suatu istilah yang menyebutkan posisi pemimpin adalah tidak sesuai bagi kaum perempuan. Sebaliknyakisah Ratu Balqis dalam al-Qur’an justru menyinggung soal praktik politik dan keagamaannya.

Walaupun terdapat ayat yang menyebutkan (barangkali secara khusus) bahwa Ratu Balqis adalah seorang pemerintah perempuan (QS. An-Naml: 23), namun hal ini tidak lebih dari kutipan pernyataan soal “burubg hudhud” yang telah menyaksikan sang ratu. Di luar identifikasi ini sebagai perempuan, tidak pernah pembedaan, larangan, penambahan, pembatasan atau spesifikasinya sebagai perempuan yang memerintah.

Dalam episode berikutnya, ketika Balqis menerima surat dari Sulaiman, dan meminta pertimbangan dari para pembesar dan penasihatnya, terdapat pesan moral yang dapat diambil pelajarannya dan diaplikasikan dalam kehidupan kita. Meskipun Ratu Saba’ melaksanakan tata cara yang lazim dalam mengambil keputusan dan meminta pertimbangan para penasihatnya tentang masalah ini, ia juga telah memberikan indikasi pandangannya dengan menyebut surat itu sebagai karim. Karena itu, penundaan keputusan yang dilakukannya dalam hal ini bukanlah karena ketidakmampuannya mengambil keputusan, melainkan demi protocol dan diplomasi

Dengan demikian, jelaslah bahwa Ratu Balqis merupakan sosok penguasa yang sangat arif dan bijaksana. Hal ini dapat dilihat dari penilaiannya terhadap surat Nabi Sulaiman yang mengajaknya untuk menyembah Allah semata, berserah diri kepadaNya dan tidak sombong, sebagai surat mulia. Memang at-Tabataba’I misalnya, mengatakan bahwa Balqis bersikap demikian, karena surat tersebut dating dari Nabi Sulaiman yang sudah dikenal kekuasaannya, dan karena dalam surat itu disebut “nama Allah” kendatipun Balqis saat itu belum beriman. Akan tetapi, menurut Sayyid Qutb, Balqis menyebut surat itu sebagai surat mulia untuk menghindari permusuhan dan perselisihan, meskipun tidak dengan terus terang. Sikapnya untuk bermusyawarah dengan para penasihat/pembesar kerajaannyadalam rangka menanggapi surat Nabi Sulaiman juga mengindikasikan kearifan Balqis. Dengan demikian, pemerintahan kerajaan Balqis bersifat demokratis. Otoritas kepala Negara tidak hanya berada di tangan Balqis sendiri, tetapi juga di tangan badan penasihat atau para pembesar kerajaan.

Selain sikapnya yang bijaksana, Ratu Balqis tampak mempunyai pandangan politik yang tajam. Setelah para pembesar kerajaan memberikan pandangan tentang kekuatan dan keberanian yang menunjukkan kecenderungan berperang, Balqis mengisyaratkan ketidaksetujuannya, dengan menjelaskan akibat yang akan dating apabila terjadi peperangan. Balqis menyadari bahwa peperangan akan mendatangkan banyak malapetaka. Karena itu, dia berupaya mencari solusi terbaik, yaitu mengirimkan utusan yang membawa hadiah kepada Nabi Sulaiman. Keputusan ini mencerminkan kepribadian perempuan yang tidak menyukai peperangan, kekerasan, dan lebih memilih menggunakan tipu daya dan cara-cara halus sebelum menggelar kekuatan senjata

Beberapa orang menafsirkan keputusan Balqis yang cenderung memilih untuk mengirimkan hadiah ketimbang memperlihatkan kekuatan yang kasar sebagai politik yang feminin. Sebetulnya, kita bisa menilai dengan penilaian yang berbeda, yakni bahwa Ratu Balqis memiliki pengetahuan politik damai sekaligus pengetahuan spiritual mengenai pesan unik Nabi Sulaiman, dan hal itu menunjukkan ia memiliki kemampuan yang independen untuk memerintah secara bijaksana dan bisa diatur dengan baik untuk masalah-masalah spiritual. Jadi jelaslah, di sini terlihat adanya hubungan antara kebebasan keputusan politik yang dimilikinya daripada norma penasihat (laki-laki) disekitarnya, dengan kebebasannya untuk menerima kebenaran Islam, daripada norma-norma kaumnya.

Dalam kedua contoh itu, al-Qur’an memperlihatkan bahwa penilaian Balqis jauh lebih baik dibanding norma di sekelilingnya, dan kebebasannya menunjukkan penilaiannya yang lebih baik. Jika politiknya adalah politik feminine, kemudian keimanannya juga feminine, dan implikasinya akan menunjukkan bahwa masakulinitas sama sekali tidak menguntungkan. Keimanannya dan politiknya mungkin saja bersifat khas milik perempuan, tetapi keduanya jauh lebih baik. Keputusan ini menunjukkan seseorang yang memiliki pengetahuan, bertindak berdasarkan pengetahuan, dan oleh sebab itu bisa menerima kebenaran.

Dengan dalil-dalil di atas tentulah lebih tepat untuk dijadikan dasar kebolehan perempuan menjabat kepala Negara, dan rujukan sekaligus counter terhadap argumentasi-argumentasi yang diketengahkan pihak yang tidak setuju perempuan menjadi pemimpin suatu Negara. Al-Qur’an secara eksplisit menggambarkan perempuan (Ratu Balqis) yang menjabat kepala pemerintahan negeri Saba’ sebagai penguasa yang sah, dan bukan hanya berhasil mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan dan kesengsaraan melainkan membawa ke kehidupan yang makmur dan mencapai budaya yang tinggi dalam bidang sains dan seni.

Pesan Moral dari Kisah Istri Nabi Nuh dan Istri Nabi Luth

Al-Qur’an memuji perempuan yang membangkang kepada suami yang dzalim. Pada saat yang sama al-Qur’an mengecam perempuan yang menentang suami yang memperjuangkan kebenaran. Dalam hal ini Allah membuat perempuan Nuh dan perempuan Luth. Keduanya berada dalam perlindungan dua orang hamba Kami yang saleh. Mereka mengkhianati keduanya. Kedua suaminya tidak bermanfaat apapun baginya di hadapan Allah. Dikatakan kepada mereka masuklah ke neraka bersama dengan orang-orang yang masuk di dalamnya (QS. 66:10).

Pesan Moral dari kisah Zulaikha’ (Istri al-Aziz)

Ada satu lagi tipe perempuan dalam al-Qur’an, kita sebut saja tipe penggoda. Tipe ini diceritakan Allah ketika berkisah tentang Yusuf (QS. 12:23-34). Dalam hubungan dengan merekalah, al-Qur’an menunjukkan kepandaian perempuan untuk melakukan maker atau tipuan. Yusuf dikatakan berdo’a: “Yusuf berkata: Ya Rabbi, penjara lebih aku sukai daripada ajakan mereka. Jika tidak engkau palingkan aku dari reka perdaya mereka tentulah aku jatuh ke dalamnya dan aku termasuk orang yang jahil” (QS.12:33).


Sumber : Nazhroul

No comments:

Post a Comment